Friday, 24 February 2012

Harga Sebuah Kemaafan






Harga Sebuah Kemaafan


Abu Hurairah meriwayatkan daripada Nabi s.a.w., Rasulullah bersabda:
Musa bin Imran bertanya: “Hai Tuhanku, siapakah hambaMu yang paling mulia di sisiMu? FirmanNya: “Siapa yang mengutamakan kemaafan sedangkan dia mampu untuk membalas kejahatan orang lain.”
Saya merasakan bahawa perkara yang paling mahal saya terpaksa bayar dalam perjalanan kehidupan ini adalah; sebuah perpisahan.
Membayarnya adalah sesuatu yang sangat menyedihkan.
Seseorang itu sepatutnya bersedia, redha, sabar di saat hati yang dihiris dengan kesedihan.
Kita selalu lupa bahawa setiap orang yang telah menambah nilai erti kehidupan kita akan berakhir. Mereka akan pergi meninggalkan kita. Atau kita jua akan berjauhan meninggalkan mereka.
Hari ini kita telah menjadi seseorang. Kita telah menemui pelbagai ragam manusia yang mungkin menyakitkan, mungkin juga menggembirakan. Kita telah pelajari sebuah kehidupan yang sebenar.
Adakah kita berterima kasih kepada mereka? Yang pernah menambah asam garam dalam resepi kehidupan ini?
TERIMA KASIH
Kita seringkali mendengar, “manusia tidak pernah lari dari buat kesilapan“, untuk kita sentiasa akui bahawa setiap orang mengaku ketidak sempurnaan dirinya.
Frasa itu juga mengajar kita bahawa “manusia belajar melalui kesilapan“, walaupun yang membuat kesilapan itu daripada orang yang lain.
Adakalanya kita rasa sakit hati atas perbuatan seseorang itu. Mungkin sakitnya hati itu tidak dirasai oleh orang yang menyakiti. Mungkin juga dia disakiti.
Namun kita tidak sedar bahawa dia mungkin pernah mengajar kita erti kehidupan lebih banyak dari apa yang dia sakitkan hati kita. Mengapakah kita terlalu keras hati sehingga terlalu mahal harga kemaafan kita?
Tak mahu bertanya sapa, tak mahu mendekati, tak mahu dan tak mahu.
Kerana mungkin kita terlalu sayangkan hati kita? Kuat merajuk? Mungkin?
SELAMAT TINGGAL
Mengapakah seseorang itu merumitkan lagi masalah dengan tidak memaafkan? Sedangkan, lebih mudah menghabiskan cerita yang rumit itu dengan memaafkan?
Kita sebenarnya telah membayar harga yang lebih mahal kerana itu, iaitu dengan memendam sakit hati, berpisah, dan dendam – hanya kerana enggan memaafkan.
Tahukah kita bahawa Rasulullah saw. telah menjadi orang yang berjaya kerana dirinya yang sangat pemaaf? Baginda dibenci, Baginda dicaci, didengki, namun kerana memahami semua itu adalah hakikat manusiawi, Baginda memaafkan.
Kita mungkin boleh berfikir sendiri, akan manusia yang sangat terpuji akhlaknya. Mungkin Rasulullah itu maksum, bersih hati jiwanya, dan kita tak mampu lakukannya. Tapi bukankah nabi diturunkan agar kita mencontohinya?
Kita bakal lagi akan diuji dengan pelbagai lagi ragam manusia.
Tetapi kita tentu akan tenteram jika kita memaafkan mereka.
Usah merumitkan lagi cerita jika penyelesaiannya hanya dengan membayar sebuah kemaafan andai mereka pernah menjadi rakan, kenalan, atau keluarga kita.
Maafkan sahaja.
Kembalilah bersaudara.
Andai Habil dibunuh kerana hilang rasa persaudaraan daripada satu pihak. Andai agama ini pernah membayar harga persaudaraan itu dengan jenuh dan letih dalam berhijrah. Mengapakah kita menggadaikan persaudaraan itu semudah-mudahnya, angkara perkara yang kecil, tetapi dibesar-besarkan?
Rugilah orang yang memutuskan persaudaraan.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” – [Al-Hujurat : 10]

wallahu'alam


zakieusof 

Tuesday, 21 February 2012

MENGHIDUPKAN QALBU DIRI

Image Detail




Menghidupkan Qalbu


Assalamu alaikum…semoga artikel ini memberikan manfaat bagi saya dan kita semua. amin
Setiap orang pasti ingin berubah untuk menjadi baik. Seorang penjahat yang kejam sekalipun pasti pernah terlintas keinginan untuk berbah menjadi baik. Namun, banyak orang yang merasa susah untuk melakukan perubahan. Sebenarnya perubahan diri tidak sulit asalkan kita punya keinginan kuat dan senantiasa istiqomah (konsisten).
Kalau ada satu keberuntungan bagi manusia dibandingkan dengan haiwan, maka itu adalah bahwa manusia memiliki kesempatan untuk ma’rifat (kesanggupan mengenal Allah). Kesanggupan ini dikaruniakan Allah karena manusia memiliki akal dan -yang terutama selkali-Qalbu. Inilah karunia Allah yang sangat besar bagi manusia.
Orang-orang yang yang hatinya benar-benar berfungsi akan berhasil mengenali dirinya dan pada akhirnya akan berhasil pula mengenali Tuhannya. Tidak ada kekayaan termahal dalam hidup ini, kecuali keberhasilan mengenal diri dan Tuhannya.
Karenanya, siapa pun yang tidak bersungguh-sungguh menghidupkan Qalbunya, dia akan jahil, akan bodoh, baik dalam mengenali dirinya sendiri, lebih-lebih lagi dalam mengenal Allah Azza wa Jalla, Dzat yang telah menyernpurnakan kejadiannya dan pula mengurus tubuhnya lebih daripada apa yang bisa dia lakukan terhadap dirinya sendiri.
Orang-orang yang sepanjang hidupnya tidak pernah marnpu mengenal dirinya dengan baik, tidak akan tahu harus bagaimana menyikapi hidup ini, apalagi merasakan indahnya hidup. Demikian pun, karena tidak mengenal Tuhannya, maka hampir dapat dipastilkan kalau yang dikenalnya hanyalah dunia ini saja, dan itu pun sebagian kecil belaka.
Akibatnya, semua perbuatannya, tidak tidak hanya diukur oleh asesoris keduniaan belaka. Dia menghargai orang sernata-mata karena orang tersebut tinggi pangkat jabatan, dan kedudukannya ataupun banyak hartanya. Demilkian pula dirinya sendiri merasa berharga di mata orang, itu karena ia merasa memiliki kelebihan duniawi dibandingkan dengan orang lain. Ada pun dalam perkara harta, gelar, pangkat, dan kedudukan itu sendiri, dia tidak akan memperdulikan dari mana datangnya dan ke mana perginya karena yang penting baginya adalah ada dan tiada.
Sebahagian besar orang ternyata tidak mempunyai cukup waktu dan kesungguhan untuk mengenali Qalbunya sendiri. Akibatnya, menjadi tidak sabar, apa yang harus dilakukan di dalam kehidupan dunia yang serba singkat ini. Sayang sekali, Qalbu itu -berbeda dengan dunia- tidak bisa dilihat dan dirasai. Kendatipun demikian, kita hendaknya sadar bahwa hati inilah pusat segala kesejukan dan keindahan dalam hidup ini.
Seorang ibu yang tengah mengandung ternyata mampu menjalani hari-harinya dengan sabar, padahal jelas secara duniawi tidak menguntungkan apa pun. Yang ada malah berat melangkah, sakit, lelah, mual. Walaupun demikian, sernua itu toh tidak membuat sang ibu berbuat aniaya terhadap jabang bayi yang dikandungnya.
Datang saatnya melahirkan, apa yang dirasakan seorang ibu, selain rasa sakit yang tak terperikan. Tubuh terluka, darah bersimbah, bahkan tak jarang berjuang di ujung maut. Ketika jabang bayi berhasil terlahir ke dunia, subhanallah, sang ibu malah tersenyurn penuh bahagia.
Sang bayi yang masih merah itu pun dimomong siang malam dengan sepenuh kasih sayang. Padahal, tangisnya di tengah malam buta membuat sang ibu kurang istirahatnya. Siang malam dengan sabar ia mengganti belai yang sebentar-sebentar basah dan sebentar-sebentar najis bayi. Cucian pun tambah menggunung karena tak jarang pakaian sang ibu harus sering diganti karena si jantung hati. Akan tetapi, masya Allah, semua beban ‘derita’ itu tidak membuat ia berlaku kasar atau mencampakkan sang bayi.
Ketika tiba saatnya si buah hati belajar berjalan, ibu pun dengan seksama membimbing dan menjaganya. Hatinya selalu cemas jangan-jangan si mungil yang tampak kian hari semakin lucu itu terjatuh atau terinjak duri. Saatnya si anak harus masuk sekolah, tak kurang-kurang menjadi beban orang tua. Demikian pula ketika memasuki dunia remaja, mulai tampak kenakalannya, mulai sering membuat kesal orang tua, sungguh menjadi beban batin yang tak ringan.
Pendek kata, ketika kecil menjadi beban, sudah besar pun tak kurang-kurang menyusahkan. Begitu panjangnya rentang waktu yang harus dijalani orang tua dalam menanggung segala beban, namun begitu sedikit balas jasa anak. Bahkan tak jarang sang anak malah berbuat durhaka, menelantarkan, dan mencampakkan kedua orang tuanya begitu saja manakala tiba saatnya mereka tua renta.
Mengapa orang tua  demikian tahan untuk terus-menerus berkorban bagi anak-anaknya? Karena, keduanya mempunyai Qalbu yang dari dalamnya terpancar kasih sayang yang tulus suci. Walaupun tidak ada imbalan langsung dari sang anak, namun Qalbu yang memiliki kasih sayang inilah yang membuatnya tahan terhadap segala kesulitan dan penderitaan. Bahkan sesuatu yang menyengsarakan pun terasa tidak menjadi beban.
Oleh karena itu, beruntunglah orang yang ditakdirkan memiliki kekayaan berupa harta yang banyak. Akan tetapi, yang harus selalu kita jaga dan rawat adalah kekayaan batin kita berupa Qalbu ini. Qalbu yang penuh cahaya kebenaran akan membuat pemiliknya merasakan indah dan lezatnya hidup ini karena selalu akan merasakan kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla. Sebaliknya, waspadalah bila cahaya Qalbu menjadi redup karena tidak bisa tidak akan membuat pemiliknya selalu merasakan kesengsaraan lahir batin karena senantiasa merasa, terjauhkan dari rahmat dan pertolongan- Nya.
Allah Maha mengetahui segala lintasan hati. Dia menciptakan dunia beserta segala isinya ini dari unsur tanah dan itu berarti senyawa dengan tubuh kita karena sama-sama terbuat dari tanah. Karenanya, untuk memenuhi kebutuhan tubuh kita tidaklah cukup dengan berdzikir, tetapi harus dipenuhi dengan aneka perangkat dan makanan, yang ternyata sumbernya dari tanah pula.
Bila perut terasa lapar, maka kita santap aneka makanan, yang sumbernya ternyata dari tanah. Bila tubuh kedinginan, kita pun mengenakan pakaian, yang bisa ditelusuri ternyata unsur-unsurnya bersumber dari tanah. Demikian pula bila suatu ketika tubuh kita menderita sakit, maka dicarilah obat-obatan, yang juga diolah dari komponen-komponen yang berasal dari tanah pula. Pendek kata, untuk segala keperluan tubuh kita mencarikan jawabannya dari tanah. Akan tetapi, kalbu ini ternyata fidak senyawa dengan unsur-unsur tanah, sehingga. ia hanya akan terpuaskan laparnya, dahaganya, sakitnya, serta kebersihannya semata-mata dengan mengingat Allah. Waa bi dzikrillaahi tathmaInnul quluub.”[Q.S. Ar-Rad (13): 28]. Camkan, hatimu hanya akan tenteram jikalau engkau selalu ingat kepada Allah.
Kita akan mempunyai banyak keperluan untuk fisikal kita, tetapi kita pun memiliki keperluan untuk kalbu kita. Karenanya, marilah kita mengarungi dunia ini sambil memenuhi keperluan fizikal dengan unsur dunia, tetapi kalbu atau Qalbu kita tetap tertambat kepada Dzat Pemilik dunia. Dengan kata lain, tubuh kita sibuk dengan urusan dunia, tetapi hati kita harus sibuk dengan Allah yang memiliki dunia. Inilah sebenamya yang paling harus kita lakukan.
Sekali kita salah dalam mengelola hati -tubuh dan hati sama- sama sibuk dengan urusan dunia -kita. pun akan stress jadinya. Hari-hari pun akan senantiasa diliputi kecemasan. Kita akan takut ada yang menghalangi, takut tidak kebahagian, takut terhantuk, dan seterusnya. Ini semua. diakibatkan sibuknya seluruh jasmani dan ruhani kita dengan urusan dunia semata.
Inilah sebenarnya yang sangat potensial membuat redupnya Qalbu kita. Kita sangat perlu meningkatkan kewaspadaan agar jangan sampai mengalami musibah semacam ini. 
Wallaahu a’lam.
zakieusof

Tuesday, 14 February 2012

Pokok-Pokok Ajaran Islam : Konteks Haram dan Halal

Image Detail


Pokok-pokok ajaran Islam tentang halal dan haram :

1.a. Asal status hukum tiap-tiap sesuatu adalah mubah

Bahwa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nash yang sah dan tegas dari syar’i. Kalau tidak adanash yang sah – misalnya karena ada sebahagian hadis lemah – atau tidak adanash yang tegas yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana hukum asalnya, yaitu mubah.
Arena haram dalam syariat Islam itu sebenarnya sangat sempit sekali dan arena halal malah sangat luas. Hal ini karena nash-nash yang shahih dan tegas dalam hal haram, jumlahnya sangat minim sekali.
“Apa saja yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka dia adalah halal; dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma’fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun.” (HR. Hakim dan Bazzar)
“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (QS. Al-An’am 6:119)
Ayat ini umum, meliputi soal-soal makanan, perbuatan, dll.
Berbeda dengan urusan ibadah. Dia itu semata-mata urusan agama yang tidak ditetapkan, melainkan dari jalan wahyu.
“Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, barangsiapa mengada-ada suatu cara ibadah yang timbul dari dirinya sendiri – apapun macamnya – adalah suatu kesesatan yang harus ditolak.
Pokok dalam urusan ibadah adalah tauqif (bersumber pada ketetapan Alalh dan Rasul). Karena itu ibadah tersebut tidak boleh dikerjakan, kecuali kalau ternyata telah disyariatkan oleh Allah.”
Maka kaedahnya: “Soal ibadah tidak boleh dikerjakan kecuali dengan syariat yang ditetapkan Allah; dan suatu hukum adat tidak boleh diharamkan, kecuali dengan ketentuan yang diharamkan oleh Allah.”

1.b. Menentukan halal-haram semata-mata hak Allah

Bukan pendeta, bukan raja yang berhak menentukan halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah melanggar batas dan menentang hak Allah dalam menetapkan perundang-undangan untuk ummat manusia. Dan barangsiapa yang menerima serta mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka itu sebagai sekutu Allah.
Al-Qur’an telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah memberikan kekuasaan kepada para pastur dan pendeta untuk menetap-kan halal dan haram :
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mem-pertuhankan) al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutu-kan.” (QS. At-Taubah 9:31)
Memang mereka tidak menyembah (sujud) kepada pendeta dan pastur, tetapi apabila pendeta dan pastur itu menghalalkan sesuatu, mereka pun ikut menghalalkan juga; dan apabila pendeta dan pastur itu mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut mengharamkan juga. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.
Al-Qur’an telah mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang bernai mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah.
“Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku tentang Rezeki yang Diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah, “Apakah Allah telah Memberikan Izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS. Yunus 10:59)
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan keboho-ngan terhadap Alalh tiadalah beruntung.” (QS. An Nahl 16:116)
Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara’ ini boleh dan ini tidak boleh. Mereka dalam kedudukannya sebagai imam ataupun mujtahid, tidak suka berfatwa, satu sama lain berusaha untuk tidak jatuh kepada kesalahan dalam menentukan halal dan haram (meng-haramkan yang halal dan menghalalkan yang haram)

1.c. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama dengan syirik

Dalam hadis Qudsi Allah berfirman, “Aku ciptakan hamba-hamba-Ku ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (HR. Muslim)
Karena itu Al-Qur’an menentang keras terhadap sikap orang-orang musyrik Arab yang berani mengharamkan atas diri mereka terhadap makanan dan binatang yang baik-baik, padahal Allah tidak mengizinkan-nya.
“Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan Perhiasan dari Allah yang telah Dikeluarkan-Nya untuk Hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah, “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami Menjelaskan Ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. Katakanlah, “Tuhan-ku hanya Mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (Mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Alalh tidak menurunkan Hujah untuk itu dan (Mengha-ramkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. ” (QS. Al-A’raf 7:32-33)
Di Madinah sempat timbul di kalangan pribadi-pribadi kaum muslimin ada orang-orang yang cenderung berlebih-lebihan dan mengharamkan dirinya dalam hal-hal yang baik. Untuk itulah maka Allah menurunkan ayat-ayat muhkamah (hukum) untuk menegakkan mereka dalam batas-batas ketentuan Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah Halalkan bagi kamu, dan janganlah melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak Menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah sebahagian rezeki yang Allah berikan kepadamu dengan halal dan baik, dan takutlah kamu kepada Allah zat yang kamu beriman dengan-Nya.” (QS. Al-Ma’idah 5:87-88)

1.d. Mengharamkan yang halal akan berakibat timbulnya kejahatan dan bahaya

Allah menentukan halal dan haram adalah justru ada beberapa alasan yang ma’qul(rasional) demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Allah tidak akan menghalalkan sesuatu kecuali yang baik dan tidak akan mengharam-kan sesuatu kecuali yang jelek.
Dengan demikian, mengharamkan sesuatu yang halal itu dapat membawa satu keburukan dan bahaya. Sedang seluruh bentuk bahaya adalah haram.

1.e. Setiap yang halal tidak memerlukan yang haram

Islam tidak mengharamkan sesuatu kecuali di situ memberikan suatu ganti yang lebih baik guna mengatasi kebutuhannya itu.
Allah mengharamkan manusia untuk mengetahui nasib dengan membagi-bagikan daging pada azlam, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya dengan doa istikharah. Allah mengharamkan mencari untung dengan menjalankan riba; tetapi di balik itu Ia berikan ganti dengan suatu perdagangan yang membawa untung. Allah mengharamkan berjudi, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa hadiah harta yang diperoleh dari berlomba memacu kuda, unta dan memanah. Allah mengharamkan sutera, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa aneka macam pakaian yang baik-baik, yang terbuat dari wool, kapuk dan cotton. Allah telah mengharamkan zina tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa perkawinan yang halal. Allah mengharamkan minum minuman keras, tetapi di balik itu Ia berikan ganti-nya berupa minuman yang lezat yang cukup berguna bagi rohani dan jasmani. Dan begitu juga Allah telah mengharamkan semua macam makanan yang tidak baik, tetapi di balik itu Ia telah memberikan gantinya berupa makanan-makanan yang baik.
“Allah hendak Menerangkan (Hukum Syariat-Nya) kepadamu, dan Menunjukimu kepada Jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) Menerima tobatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan Allah hendak Menerima tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa naffsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak Memberikan Keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An Nisaa’ 4:26-28)

1.f. Apa saja yang membawa kepada yang haram, adalah haram

Jika Islam telah mengharamkan sesuatu, maka sarana dan cara apapun yang dapat membawa kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Dosa perbuatan haram tidak terbatas pada pribadi si pelakunya itu sendiri secara langsung, tetapi meliputi daerah yang sangat luas sekali, termasuk semua orang yang bersekutu dengan dia baik melalui harta ataupun sikap. Masing-masing mendapat dosa sesuai dengan keterlibatan-nya itu.
Semua orang yang membantu kepada orang yang berbuat haram, maka dia akan terlibat dalam dosanya juga.

1.g. Bersiasat terhadap hal yang haram, hukumnya adalah haram

“Jangan kamu berbuat seperti perbuatan Yahudi, dan jangan kamu menganggap halal terhadap larangan-larangan Allah walaupun dengan siasat yang paling kecil.”
Misalnya orang-orang Yahudi dilarang berburu pada hari Sabtu, kemudian mereka bersiasat untuk melanggar larangan ini dengan menggali, sebuah parit pada hari Jum’at supaya pada hari Sabtunya ikan-ikan bisa masuk ke dalam parit tersebut dan akan diambilnya nanti pada hari Ahad. Cara seperti ini dipandang halal oleh orang-orang yang memang bersiasat untuk melanggar larangan itu, tetapi oleh ahli-ahli fiqih dipandangnya suatu perbuatan haram, karena motifnya justru untuk berburubaik dengan jalan bersiasat maupun cara langsung.
Termasuk bersiasat yaitu menamakan sesuatu yang haram dengan nama lain, dan merubah bentuk, padahal intinya itu juga.
“Sungguh akan ada satu golongan dari ummatku yang menganggap halal minum arak dengan memberikan nama lain.” (HR. Ahmad)
“Akan datang suatu masa di mana manusia menganggap halal riba dengan nama jual-beli.”

1.h. Niat baik tidak dapat melepaskan yang haram

Niat yang baik itu dapat menggunakan seluruh yang mubah dan adat untuk berbakti dan taqarrub kepada Allah. Adapun masalah haram tetap dinilai haram, betapapun baik dan mulianya niat dan tujuan itu. Sebab Islam selamanya menginginkan tujuan yang suci dan caranya pun harus suci juga. Syariat Islam tidak membenarkan prinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
“Barangsiapa mengumpulkan uang dari jalan yang haram kemudian dia sedekahkan harta itu, sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosanya akan menimpa dia.” (HR. Ibnu khuzaimah, Ibnu Hubban dan Hakim)
“Tidak seorang pun yang bekerja untuk mendapatkan keka-yaan dengan jalan haram kemudian ia sedekahkan, bahwa sedekahnya itu akan diterima; dan kalau dia infaqkan tidak juga beroleh barakah; dan tidak pula ia tinggalkan di belakang punggungnya (sesudah ia meninggal), melainkan dia itu sebagai perbekalan ke neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapuskan kejahatan dengan kejahatan, tetapi kejahatan dapat dihapus dengan kebaikan. Kejelekan tidaklah dapat menghapuskan kejelekan.” (HR. Ahmad)

1.i. Menjauhkan diri dari syubhat karena takut terlibat dalam haram

Syubhat adalah suatu persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Hal ini bisa terjadi mungkin karena tidak jelasnya dalil dan mungkin karena tidak jelasnya jalan untuk menterapkan dalil yang ada terhadap suatu persitiwa. Terhadap persoalan ini Islam memberikan suatu garis yang disebutWara’ (suatu sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Di mana dengan sifat itu seorang muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat, sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada yang haram.
“Yang halal itu telah nyata, yang haram juga telah nyata dan diantara keduanya ada hal-hal yang syubhat yang kebanya-kan manusia tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat itu, berarti ia telah membersihkan Din-nya dan kehormatannya. Barangsiapa yang melakukan hal-hal yang syubhat itu, sungguh ia telah melaksanakan yang haram. Seperti seorang gembala yang menggembala di sekitar pagar, hampir saja ia menggembala di dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja ada pagarnya. Dan pagar Allah adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa didalam jasad ada sekerat daging, jika ia baik, baiklah jasadnya seluruhnya; jika ia rusak, rusaklah jasad selurunya.Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

1.j. Sesuatu yang haram berlaku untuk semua orang

Tidak ada sesuatu yang diharamkan untuk sekelompok orang tetapi dihalalkan untuk sekelompok yang lain. Setiap yang dihalalkan Allah dengan ketetapan undang-undang-Nya berarti halal untuk segenap ummat manusia. Dan apa saja yang diharamkan, haram juga untuk seluruh manusia.
Misalnya mencuri. Hukumnya adalah haram, baik si pelakunya itu muslim atau bukan. Hukumnya pun berlaku untuk setiap pencuri.
“Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya.” (HR. Bukhari)
Pernah juga terjadi suatu anggapan dalam agama Yahudi bahwa riba itu hanya haram untuk seorang Yahudi jika berhutang kepada orang Yahudi yang lain. Tetapi berhutang kepada orang lain Yahudi tidaklah terlarang.
“Di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercaya-kan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikan-nya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengataka, “Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi.” Mereka berkata dusta terhadap Alalh, padahal mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran 3:75)

1.k. Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang

Seorang muslim dalam keadaan yang sangat memaksa, diperkenan-kan melakukan yang haram karena dorongan keadaan dan sekedar menja-ga diri dari kebinasaan.
“Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tidaklah berdosa baginya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih.” (al-Baqarah 2:173)
Tetapi tetap ada pembatasan terhadap si pelakunya yaitu dengan kata-kata tidak sengaja (tidak sengaja untuk mencari kelezatan) dan tidak melewati batas.
Dari ikatan ini para ulama ahli fiqih menetapkan suatu prinsip yaitu manusia sekalipun boleh tunduk kepada keadaan dharurat, tetapi dia tidak boleh menyerah begitu saja kepada keadaan tersebut dan tidak boleh menjatuhkan dirinya kepada keadaan darurat itu dengan kendali nafsunya. Tetapi dia harus tetap mengikatkan diri kepada pangkal halal dengan terus berusaha mencarinya.
“Allah Menghendaki Kemudahan bagimu, dan tidak Menghen-daki Kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah 2:185)
Maraji’
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam - syukran ustaz